Rabu, 10 April 2013

Morning Glory Spillway Jatiluhur

Beberapa tahun lalu, kami dapat tugas Mata Kuliah Bangunan Air dari Pak Andy Hendri. Kami diminta mengumpulkan bahan tentang Morning Glory Spillway. Spillway adalah bangunan air yang digunakan untuk mengalirkan air dari hulu bendungan (waduk) atau tanggul ke daerah hilir saat debit waduk berlebih, sehingga air tidak melimpas melalui bagian atas (mercu/top) bendungan.
Setelah disearch di Google, kami hanya menemukan gambar-gambar morning glory di negara lain, itupun tidak banyak. Spillway ini memang sangat cantik, saat air melimpas, seperti ada lubang besar yang menelan air waduk tersebut. Sejak pertama melihat gambarnya, aku telah jatuh cinta. hehe...
Saat itu aku berfikir, kapan ya aku bisa melihat spillway ini secara langsung...? Secara, adanya hanya di luar negeri...
Klo ga salah, ini nih gambar yang dulu pertama aku temukan.  Cantik kan..?!

Tahun 2011, kami berkesempatan jalan-jalan ke Waduk Jatiluhur, dan ternyata....waduk ini menggunakan bangunan spillway morning glory. Namun saat itu airnya tidak melimpas, jadi ga cantik2 amat.. :D
Tadi, kami berkesempatan lagi berkunjung ke sana, dan kami menemukan debit air waduk sedang tinggi, sehingga air melimpas melalui si morning glory. Allahu akbar...!! Subhanallah...!!! Cantik buaaaanggeeeettttt......!!!! Sensasinya ngalahin Si Piso-piso wak..!!!
(hehe.. kathrok amat aku yah....? tapi ya gitu dehhh... emang cakep banget..)
Sstt,, ternyata di Indonesia ada dua Waduk yang menggunakan Morning Glory Spillway, satu Jatiluhur ini, satu lagi di Kalimantan Selatan. Tapi waduk apa ya,,,? Lupa...

Semoga kali lain bisa ke sana, ke morning glory yang di luar negeri juga... :D
Morning Glory Spillway Jatiluhur
Air melimpas melewati bibir spillway
Persis seperti air terjun (emang air terjun jg sih.. :D), ada pantulan dari air yang jatuh...


ada videonya juga nih.... :D

Rabu, 13 Juni 2012

Silaturrahim



Sore itu, dengan semangat, aku dan sahabatku Dinda berkendara menggunakan sepeda motor menuju pinggiran utara kota kami. Meski sudah menjelang maghrib, tapi matahari masih bersinar terik. Sepanjang perjalanan, kami berbincang-bincang tentang kenangan kebersamaan kami semasa satu kos dulu. Ya, semasa kuliah S1 dulu, aku memang satu kos dengan sahabatku ini.

Kos (atau kami terbiasa menyebutnya pondokan) kami merupakan pondokan binaan lembaga dakwah kampus. Isinya adalah mahasiswi yang dipilih dari setiap fakultas di kampus kami, untuk kemudian dibina di pondokan tersebut. Di sana, setiap malam kami belajar dengan jadwal pelajaran yang telah ditetapkan. Suatu malam, kami diberi materi tentang pentingnya menjaga silaturrahim. Terus terang, saat itu aku adalah orang yang kurang suka berkunjung ke rumah saudara. Selama ustadz menyampaikan materi, aku merasa tersindir. Aku merasa setiap kata yang dilontarkan sang ustadz ditujukan kepadaku. Saat diberi kesempatan untuk tanya-jawab, langsung aku mengemukakan isi hatiku pada ustadz tersebut, bahwa aku kurang suka bersilaturrahim, bahwa aku merasa demikian karena takut mengganggu si tuan rumah. Kemudian ustadz tersebut memberikan penjelasan panjang lebar tentang betapa tidak baiknya sikapku itu. Aku merasa semakin terpojok, teman-teman satu pondokan yang tau betul sifatku, juga dapat melihat ke-tertekan-anku. Namun bagaimanapun, apa yang disampaikan ustadz tersebut benar adanya, sehingga walaupun aku merasa tidak yakin, aku bertekad untuk mulai senang melakukan kunjungan-kunjungan silaturrahim kepada saudara dan teman-temanku.

Ternyata mengubah kebiasaan tidak mudah. Aku selalu merasa berat untuk melakukan silaturrahim. Aku lebih suka duduk menyendiri di kamar sambil membaca buku. Namun ternyata teman-teman satu pondokan juga telah bertekad untuk rajin mengajakku pergi bersilaturrahim. Jadi mereka membuat agenda silaturrahim satu kali setiap pekannya. Walaupun sudah demikian, hingga sekarang aku masih merasa malas-malasan untuk bersilaturrahim, karena jika sambutan tuan rumah kurang hangat, aku akan merasa tertekan di sana dan menyesal telah ke sana, karena hatiku akan selalu berkata bahwa waktu kedatanganku tidak tepat, atau, tuan rumah sedang tidak ingin diganggu.

Sore ini, kami pergi berdua, tak lain dan tak bukan adalah untuk mengunjungi Ayu, teman satu pondokan kami dulu. Ayu sudah menikah. Setelah mnyelesaikan S1-nya, Ayu sempat bekerja di kota lain, namun sekarang ia kembali ke kota ini dan tinggal di pinggir kota bersama suaminya. Siang tadi, Dinda yang sedang libur dari kuliah S2-nya di kota lain, menelpon dan mengatakan bahwa dia ada di kota ini sekarang dan mengajakku mengunjungi Ayu. “Sudah lama kita nggak jumpa, dia juga tinggal di rumah baru sekarang, di lingkungan baru, jadi akan baik kalau kita mengunjunginya”, begitu kata Dinda.


Maka, seusai jam kerja, aku menjemput Dinda kerumahnya, dan kami berangkat bersama. Obrolan kami tak jauh dari keutamaan silaturrahim. Dinda suka sekali mengolok-olokku soal pengajian malam itu. Dinda ini memang subhanallah, dia adalah orang yang suka bersilaturrahim. Sejauh apapun akan ditempuhnya jika dia ingin mengunjungi saudaranya.


Setelah sampai di tempat Ayu, kami berbincang, bercerita, dan bersenda gurau sebagaimana waktu masih di kos dulu. Hal ini sungguh menyenangkan, aku merasa nyaman. Kemudian Dinda berkata bahwa Nana, yang dulu juga satu pondokan dengan kami, tinggal di daerah sekitar itu juga, dan Dinda mengusulkan agar sepulang dari sini kami mampir sekalian ke sana. Aku setuju, aku minta dia menghubungi Nana untuk memberitahukan rencana kami, serta minta alamat yang jelas.


Selepas maghrib, kami pamit pada Ayu dan berangkat menuju rumah Nana. Mulanya aku merasa ragu, berhubung sudah malam. Apalagi Nana telah memiliki seorang putra, tentu jam-jam segini ia akan sibuk. Nana juga baru keluar kerja jam 5 sore. Tapi Dinda menyakinkan bahwa itu tidak masalah, “Nana tadi bilang dia akan menunggu kok,” kata Dinda. Akhirnya kami pun mengarahkan sepeda motor kami ke alamat Nana.


Setelah hampir setengah jam berputar-putar ditambah tanya sana-sini, akhirnya kami sampai ke alamat yang dimaksud. Dilihat dari luar, sepertinya penghuninya sedang tidak di rumah, sebab lampu ruang depannya mati, juga tidak terdengar suara-suara. Tapi kami yakin itulah rumahnya, dan dia bilang akan menunggu, berarti seharusnya ia ada di rumah. Dinda mengeluarkan ponselnya, menghubungi nomor Nana. Tidak ada jawaban. Kembali diulanginya, kembali tak ada jawaban. Akhirnya aku beranikan diri untuk mengetuk pintu. “Assalaamu’alaikum...” seruku pelan, tak ada jawaban. Aku semakin mendekat ke pintu, samar aku mendengar suara anak kecil yang sedang berceloteh riang. Hm,, berarti mereka ada di rumah, tapi jauh di ruang belakang sana, maka kuulangi dengan suara yang lebih keras, “Assalaamu’alaikuum..!”, masih tak ada jawaban. Kali ini aku setengah berteriak, “Assalaamu’alaikuuumm,,!!!”, tetap tak ada jawaban. Aku menghela nafas, lelah. Aku mulai merasa berkunjung ke sini merupakan keputusan yang salah.


“Jatah aku dah abis Din, mu lagi..” ujarku pelan pada Dinda.


“Ee, nggak usahlah Zak, kita pulang aja. Mungkin mereka lagi nggak di rumah.”


“Hei,, mu jangan gitulah,, kita udah jauh-jauh ke sini, masa pas depan pintu mu nyerah gitu..?” aku gak terima, perjuangan sudah sejauh ini gitu loh...!


“Ayo, mu yang salam sekarang, mereka ada tuh, tapi di belakang kayaknya. Teriak yang kencang..!” aku mendorong Dinda mendekati pintu.


Malas-malasan Dinda mengucap salam. “Assalaamu’alaikum.”


“Keras lagi Din, ketuk pintunya juga..”


Dinda menambah volume suaranya, “Assalaamu’alaikuum..!” Tangannya mengetuk pintu, tapi mukanya putus asa.


“Udahlah Zak, kita pulang aja,” Dinda mulai merajuk.


Namun dari dalam terdengar jawaban pelan, “Wa’alaikumussalaam..”


Kami berlarian menjauhi pintu, sejenak kemudia pintu dibuka dari dalam. Aku mendorong Dinda maju, tapi dia membatu. Akhirnya aku mendekat ke pintu. Hm,, ini pasti suami Nana.


“Ada apa, Mbak?” tanyanya.


“Nana-nya ada?” aku balik bertanya.


“Ada..” jawabnya.


“Kami mau jumpa Nana,” jelasku.


“Oh,, ya. Sebentar ya...” Lelaki itu masuk sambil menutup pintu. Aku dan Dinda saling berpandangan, namun saling diam. Kami tetap menunggu, semenit berlalu tak ada tanda-tanda kemunculan Nana. Dinda melihat jam di HP-nya, kami berpandangan lagi, kali ini disertai senyum mengambang. Kami kembali sibuk dengan fikiran masing-masing. Dua menit, masih tak ada yang muncul dari balik pintu. Saat kami memutuskan untuk menjauh, duduk di jok motor yang diparkir di tepi pagar, tiba-tiba pintu terbuka.


“Hey,, Subhaanallaah.. ‘Ammah Dinda dan ‘Ammah Zakiy, masuk,,masuk.. Ya Allah,, malam-malam.. Ayo masuk.” Nana menyalami kami dan memberikan senyum termanisnya. Tapi aku dan Dinda terlanjur kehilangan semangat, jadi kami hanya berkata “iya..” dengan lemah. Senyum kami pun rasanya telah tak sempurna.


“Silahkan duduk, ayo..”


Aku duduk, diikuti Dinda. Martabak manis yang tadi kami bawa, dihulurkan Dinda kepada Nana.


“Maasyaa Allaah,, apa ini,,? Pakai bawa-bawa segala.. Duduk dulu ya...” Nana beranjak ke belakang.


“Eeh, Nana, jangan ke mana-mana lagi. Duduk aja di sini, kami cuma sebentar kok.” Aku berusaha menahan langkah Nana.


“Iya Na, udah malam soalnya,” sambung Dinda.


“Iya sih, sebenarnya akhwat ga boleh lho keluar setelah jam tujuh malam..” jelas Nana sambil tetap meneruskan langkahnya ke belakang.


Aku saling berpandangan dengan Dinda. Aku bisa membaca air muka Dinda yang langsung berubah mendengar perkataan Nana tadi. Terus terang aku juga agak ‘merasa’, tapi aku tersenyum saja. Gimanapun, apa yang disampaikan Nana itu benar adanya.


Sementara Dinda langsung berkata, “Nana, kami pulang ya.. kami hanya mau mampir aja kok tadi..” Dari nada suaranya, jelas sekali Dinda tersinggung berat. Aku juga bisa maklum dengan sikap Dinda ini. Terus terang, untuk bisa menemukan alamat ini bukan perjuangan yang mudah. Kami juga ga berniat keluyuran sampai malam begini. Kami tak mengira bahwa menemukan alamatnya akan memakan waktu yang begitu lama.

Aku melotot pada Dinda, dengan isyarat anggukan aku menyuruhnya kembali duduk.

“Jangan gitu lah Din, minum dulu... Sekali-kali gini...” Nana muncul dengan sebuah nampan di tangannya. Nana bergegas meletakkan nampan begitu dilihatnya Dinda telah memasang kembali jaketnya dan sedang berjalan menuju pintu. Nana mengejar Dinda, memaksa Dinda membuka kembali jaketnya. Tapi Dinda bertahan.

“Oi Din, duduk dulu, aku masih capek. Minum dulu , aku haus kali nih... mu iya lah enak, cuma duduk-duduk aja dibelakang.” Aku juga berusaha memaksa Dinda untuk duduk kembali.

“Ya udah, sekarang aku yang bawa motor,” Dinda masih ngeyel.

“Iiih, ngotot kali sih...! duduk dulu, minum dulu, abis tu baru kita pulang.”

“Iya Din, kok gitu sih...” Nana tampak bingung dengan sikap Dinda.

Malas-malasan, Dinda duduk dan meminum air yang telah aku tuangkan untuknya. Sekali teguk, tandas setengah gelas.

“Udah,” ujarnya.

“Habiskan!!!” aku melotot lagi padanya. Aku angsurkan buah jeruk yang disajikan Nana untuk kami, setengahnya sudah kumakan.


Dengan cepat dia masukkan semuanya ke dalam mulut. Kunyah kiri kanan, langsung telan.


“Udah, ayok...!” katanya sambil menarik jaketku.


“Kenapa buru-buru...?” tanya Nana.


“Udah malam Na,, ga enak...” ujar Dinda pelan.


“Iya Na, kami pamit ya...” bersamaam dengan ucapanku, terdengar suara adzan dikumandangkan dari masjid di dekat rumah Nana. “Lagian udah ‘isya,” tambahku.


“Ya udah. Hati-hati ya...” Nana mengantar kami ke halaman.


Dinda mengambil kunci dariku, “biar aku yang bawa, mu kan capek,” ujarnya.

Dalam perjalanan pulang, Dinda berkata, “pasti Nana tu capek, Zak. Dia baru pulang ngajar soalnya.” Dia mengatakannya bahkan berkali-kali. Aku merasa ucapan itu lebih ditujukan pada dirinya sendiri, agar hatinya tidak dipengaruhi persangkaan-persangkaan buruk terhadap saudaranya. Aku mengangguk saja di boncengan, sambil juga berusaha memasukkan fikiran-fikiran positif, agar hatiku tidak diracuni syaithon dengan kekecewaan.


Ini salah satu pengalaman silaturrahim yang aku alami, yang pertama menyenangkan, yang kedua ‘agak’ menyenangkan. Hingga saat ini, aku masih harus membujuk hati dengan usaha keras untuk melakukan suatu kunjungan ke rumah saudara. Seakrab apapun aku dengan seseorang saat ia belum menikah, setelah ia berkeluarga aku akan berfikir seribu kali untuk berkunjung ke rumahnya. Bukan hanya itu, untuk menelpon-pun aku sering merasa berat. Karena itu tadi, takut tak tepat waktu dan malah mengganggu. Aku masih berupaya untuk memperbaiki cara pandang dan perasaan ini, karena aku juga ingin menjalankan risalah nabi...

Kamis, 10 Mei 2012

SAJAK PETANG INI


Berdiri di ambang senja
Hentikan waktu yang melaju
Mampukah?

Serpihan malam berjatuhan
Hingga sempurna membentuk kelam
Lalu pecah berantakan ditimpa fajar

Kau masih di situ?
Masih menunggu?
Kalau begitu, ucapkan saja salam perpisahan pada dunia
Karena sesungguhnya kau tlah lama terkubur
Bersama keputus-asaanmu

Selasa, 24 Mei 2011

Inspirasi Pagi

Sehangat senyummu...
Secerah semangatmu...
Seceria sinarmu...
Kumulai langkah pagi ini...

Harapku, dapat kutebar kebaikan
Seperti mana selalu kau lakukan pada penduduk bumi
Sepanjang hari...
Sepanjang masa...