Sore itu,
dengan semangat, aku dan sahabatku Dinda berkendara menggunakan sepeda motor
menuju pinggiran utara kota kami. Meski sudah menjelang maghrib, tapi matahari
masih bersinar terik. Sepanjang perjalanan, kami berbincang-bincang tentang
kenangan kebersamaan kami semasa satu kos dulu. Ya, semasa kuliah S1 dulu, aku
memang satu kos dengan sahabatku ini.
Kos (atau
kami terbiasa menyebutnya pondokan) kami merupakan pondokan binaan lembaga
dakwah kampus. Isinya adalah mahasiswi yang dipilih dari setiap fakultas di
kampus kami, untuk kemudian dibina di pondokan tersebut. Di sana, setiap malam
kami belajar dengan jadwal pelajaran yang telah ditetapkan. Suatu malam, kami
diberi materi tentang pentingnya menjaga silaturrahim. Terus terang, saat itu
aku adalah orang yang kurang suka berkunjung ke rumah saudara. Selama ustadz
menyampaikan materi, aku merasa tersindir. Aku merasa setiap kata yang
dilontarkan sang ustadz ditujukan kepadaku. Saat diberi kesempatan untuk
tanya-jawab, langsung aku mengemukakan isi hatiku pada ustadz tersebut, bahwa
aku kurang suka bersilaturrahim, bahwa aku merasa demikian karena takut
mengganggu si tuan rumah. Kemudian ustadz tersebut memberikan penjelasan
panjang lebar tentang betapa tidak baiknya sikapku itu. Aku merasa semakin
terpojok, teman-teman satu pondokan yang tau betul sifatku, juga dapat melihat
ke-tertekan-anku. Namun bagaimanapun, apa yang disampaikan ustadz tersebut
benar adanya, sehingga walaupun aku merasa tidak yakin, aku bertekad untuk
mulai senang melakukan kunjungan-kunjungan silaturrahim kepada saudara dan
teman-temanku.
Ternyata
mengubah kebiasaan tidak mudah. Aku selalu merasa berat untuk melakukan
silaturrahim. Aku lebih suka duduk menyendiri di kamar sambil membaca buku.
Namun ternyata teman-teman satu pondokan juga telah bertekad untuk rajin
mengajakku pergi bersilaturrahim. Jadi mereka membuat agenda silaturrahim satu
kali setiap pekannya. Walaupun sudah demikian, hingga sekarang aku masih merasa
malas-malasan untuk bersilaturrahim, karena jika sambutan tuan rumah kurang
hangat, aku akan merasa tertekan di sana dan menyesal telah ke sana, karena
hatiku akan selalu berkata bahwa waktu kedatanganku tidak tepat, atau, tuan rumah
sedang tidak ingin diganggu.
Sore ini,
kami pergi berdua, tak lain dan tak bukan adalah untuk mengunjungi Ayu, teman
satu pondokan kami dulu. Ayu sudah menikah. Setelah mnyelesaikan S1-nya, Ayu
sempat bekerja di kota lain, namun sekarang ia kembali ke kota ini dan tinggal
di pinggir kota bersama suaminya. Siang tadi, Dinda yang sedang libur dari
kuliah S2-nya di kota lain, menelpon dan mengatakan bahwa dia ada di kota ini
sekarang dan mengajakku mengunjungi Ayu. “Sudah lama kita nggak jumpa, dia juga
tinggal di rumah baru sekarang, di lingkungan baru, jadi akan baik kalau kita
mengunjunginya”, begitu kata Dinda.
Maka, seusai
jam kerja, aku menjemput Dinda kerumahnya, dan kami berangkat bersama. Obrolan
kami tak jauh dari keutamaan silaturrahim. Dinda suka sekali mengolok-olokku
soal pengajian malam itu. Dinda ini memang subhanallah, dia adalah orang yang
suka bersilaturrahim. Sejauh apapun akan ditempuhnya jika dia ingin mengunjungi
saudaranya.
Setelah
sampai di tempat Ayu, kami berbincang, bercerita, dan bersenda gurau sebagaimana
waktu masih di kos dulu. Hal ini sungguh menyenangkan, aku merasa nyaman.
Kemudian Dinda berkata bahwa Nana, yang dulu juga satu pondokan dengan kami,
tinggal di daerah sekitar itu juga, dan Dinda mengusulkan agar sepulang dari sini
kami mampir sekalian ke sana. Aku setuju, aku minta dia menghubungi Nana untuk
memberitahukan rencana kami, serta minta alamat yang jelas.
Selepas maghrib,
kami pamit pada Ayu dan berangkat menuju rumah Nana. Mulanya aku merasa ragu,
berhubung sudah malam. Apalagi Nana telah memiliki seorang putra, tentu jam-jam
segini ia akan sibuk. Nana juga baru keluar kerja jam 5 sore. Tapi Dinda
menyakinkan bahwa itu tidak masalah, “Nana tadi bilang dia akan menunggu kok,”
kata Dinda. Akhirnya kami pun mengarahkan sepeda motor kami ke alamat Nana.
Setelah
hampir setengah jam berputar-putar ditambah tanya sana-sini, akhirnya kami
sampai ke alamat yang dimaksud. Dilihat dari luar, sepertinya penghuninya
sedang tidak di rumah, sebab lampu ruang depannya mati, juga tidak terdengar
suara-suara. Tapi kami yakin itulah rumahnya, dan dia bilang akan menunggu,
berarti seharusnya ia ada di rumah. Dinda mengeluarkan ponselnya, menghubungi
nomor Nana. Tidak ada jawaban. Kembali diulanginya, kembali tak ada jawaban.
Akhirnya aku beranikan diri untuk mengetuk pintu. “Assalaamu’alaikum...” seruku
pelan, tak ada jawaban. Aku semakin mendekat ke pintu, samar aku mendengar
suara anak kecil yang sedang berceloteh riang. Hm,, berarti mereka ada di
rumah, tapi jauh di ruang belakang sana, maka kuulangi dengan suara yang lebih
keras, “Assalaamu’alaikuum..!”, masih tak ada jawaban. Kali ini aku setengah
berteriak, “Assalaamu’alaikuuumm,,!!!”, tetap tak ada jawaban. Aku menghela
nafas, lelah. Aku mulai merasa berkunjung ke sini merupakan keputusan yang
salah.
“Jatah aku
dah abis Din, mu lagi..” ujarku pelan pada Dinda.
“Ee, nggak
usahlah Zak, kita pulang aja. Mungkin mereka lagi nggak di rumah.”
“Hei,, mu
jangan gitulah,, kita udah jauh-jauh ke sini, masa pas depan pintu mu nyerah
gitu..?” aku gak terima, perjuangan sudah sejauh ini gitu loh...!
“Ayo, mu
yang salam sekarang, mereka ada tuh, tapi di belakang kayaknya. Teriak yang
kencang..!” aku mendorong Dinda mendekati pintu.
Malas-malasan
Dinda mengucap salam. “Assalaamu’alaikum.”
“Keras lagi Din,
ketuk pintunya juga..”
Dinda
menambah volume suaranya, “Assalaamu’alaikuum..!” Tangannya mengetuk pintu,
tapi mukanya putus asa.
“Udahlah Zak,
kita pulang aja,” Dinda mulai merajuk.
Namun dari
dalam terdengar jawaban pelan, “Wa’alaikumussalaam..”
Kami
berlarian menjauhi pintu, sejenak kemudia pintu dibuka dari dalam. Aku
mendorong Dinda maju, tapi dia membatu. Akhirnya aku mendekat ke pintu. Hm,,
ini pasti suami Nana.
“Ada apa,
Mbak?” tanyanya.
“Nana-nya
ada?” aku balik bertanya.
“Ada..”
jawabnya.
“Kami mau
jumpa Nana,” jelasku.
“Oh,, ya.
Sebentar ya...” Lelaki itu masuk sambil menutup pintu. Aku dan Dinda saling
berpandangan, namun saling diam. Kami tetap menunggu, semenit berlalu tak ada
tanda-tanda kemunculan Nana. Dinda melihat jam di HP-nya, kami berpandangan
lagi, kali ini disertai senyum mengambang. Kami kembali sibuk dengan fikiran
masing-masing. Dua menit, masih tak ada yang muncul dari balik pintu. Saat kami
memutuskan untuk menjauh, duduk di jok motor yang diparkir di tepi pagar,
tiba-tiba pintu terbuka.
“Hey,,
Subhaanallaah.. ‘Ammah Dinda dan ‘Ammah Zakiy, masuk,,masuk.. Ya Allah,,
malam-malam.. Ayo masuk.” Nana menyalami kami dan memberikan senyum
termanisnya. Tapi aku dan Dinda terlanjur kehilangan semangat, jadi kami hanya
berkata “iya..” dengan lemah. Senyum kami pun rasanya telah tak sempurna.
“Silahkan
duduk, ayo..”
Aku duduk,
diikuti Dinda. Martabak manis yang tadi kami bawa, dihulurkan Dinda kepada Nana.
“Maasyaa
Allaah,, apa ini,,? Pakai bawa-bawa segala.. Duduk dulu ya...” Nana beranjak ke
belakang.
“Eeh, Nana,
jangan ke mana-mana lagi. Duduk aja di sini, kami cuma sebentar kok.” Aku
berusaha menahan langkah Nana.
“Iya Na,
udah malam soalnya,” sambung Dinda.
“Iya sih,
sebenarnya akhwat ga boleh lho keluar setelah jam tujuh malam..” jelas Nana
sambil tetap meneruskan langkahnya ke belakang.
Aku saling
berpandangan dengan Dinda. Aku bisa membaca air muka Dinda yang langsung
berubah mendengar perkataan Nana tadi. Terus terang aku juga agak ‘merasa’,
tapi aku tersenyum saja. Gimanapun, apa yang disampaikan Nana itu benar adanya.
Sementara Dinda langsung berkata, “Nana, kami pulang
ya.. kami hanya mau mampir aja kok tadi..” Dari nada suaranya, jelas sekali Dinda
tersinggung berat. Aku juga bisa maklum dengan sikap Dinda ini. Terus terang, untuk bisa menemukan alamat ini bukan perjuangan yang mudah. Kami juga ga berniat keluyuran sampai malam begini. Kami tak mengira bahwa menemukan alamatnya akan memakan waktu yang begitu lama.
Aku melotot
pada Dinda, dengan isyarat anggukan aku menyuruhnya kembali duduk.
“Jangan gitu
lah Din, minum dulu... Sekali-kali gini...” Nana muncul dengan sebuah nampan di
tangannya. Nana bergegas meletakkan nampan begitu dilihatnya Dinda telah memasang
kembali jaketnya dan sedang berjalan menuju pintu. Nana mengejar Dinda, memaksa
Dinda membuka kembali jaketnya. Tapi Dinda bertahan.
“Oi Din,
duduk dulu, aku masih capek. Minum dulu , aku haus kali nih... mu iya lah enak,
cuma duduk-duduk aja dibelakang.” Aku juga berusaha memaksa Dinda untuk duduk
kembali.
“Ya udah,
sekarang aku yang bawa motor,” Dinda masih ngeyel.
“Iiih,
ngotot kali sih...! duduk dulu, minum dulu, abis tu baru kita pulang.”
“Iya Din,
kok gitu sih...” Nana tampak bingung dengan sikap Dinda.
Malas-malasan,
Dinda duduk dan meminum air yang telah aku tuangkan untuknya. Sekali teguk,
tandas setengah gelas.
“Udah,”
ujarnya.
“Habiskan!!!”
aku melotot lagi padanya. Aku angsurkan buah jeruk yang disajikan Nana untuk
kami, setengahnya sudah kumakan.
Dengan cepat
dia masukkan semuanya ke dalam mulut. Kunyah kiri kanan, langsung telan.
“Udah,
ayok...!” katanya sambil menarik jaketku.
“Kenapa
buru-buru...?” tanya Nana.
“Udah malam Na,,
ga enak...” ujar Dinda pelan.
“Iya Na,
kami pamit ya...” bersamaam dengan ucapanku, terdengar suara adzan dikumandangkan
dari masjid di dekat rumah Nana. “Lagian udah ‘isya,” tambahku.
“Ya udah.
Hati-hati ya...” Nana mengantar kami ke halaman.
Dinda
mengambil kunci dariku, “biar aku yang bawa, mu kan capek,” ujarnya.
Dalam
perjalanan pulang, Dinda berkata, “pasti Nana tu capek, Zak. Dia baru pulang
ngajar soalnya.” Dia mengatakannya bahkan berkali-kali. Aku merasa ucapan itu
lebih ditujukan pada dirinya sendiri, agar hatinya tidak dipengaruhi
persangkaan-persangkaan buruk terhadap saudaranya. Aku mengangguk saja di
boncengan, sambil juga berusaha memasukkan fikiran-fikiran positif, agar hatiku
tidak diracuni syaithon dengan kekecewaan.
Ini salah
satu pengalaman silaturrahim yang aku alami, yang pertama menyenangkan, yang
kedua ‘agak’ menyenangkan. Hingga saat ini, aku masih harus membujuk hati
dengan usaha keras untuk melakukan suatu kunjungan ke rumah saudara. Seakrab
apapun aku dengan seseorang saat ia belum menikah, setelah ia berkeluarga aku
akan berfikir seribu kali untuk berkunjung ke rumahnya. Bukan hanya itu, untuk
menelpon-pun aku sering merasa berat. Karena itu tadi, takut tak tepat waktu
dan malah mengganggu. Aku masih berupaya untuk memperbaiki cara pandang dan
perasaan ini, karena aku juga ingin menjalankan risalah nabi...